Strategi Kaum Pagan Menuju The New World Order

Taut Posted on Updated on

Illuminate Global Conspirations

Strategi Kaum Pagan Menuju The New World Order

Sejarah dunia mencatat bahwa Dinasti Rotschild merupakan dinasti paling terkemuka di Eropa di abad pertengahan. Sir Meyer Amschel Rotschild merupakan sesepuh dinasti ini yang juga disebuta sebagai Rotschild I. Keluarga Yahudi ini tinggal di sebuah rumah besar di pojok Judenstrasse (Jalan Yahudi) di Bavaria (sekarang Jerman). Kuat dugaan, Rotschild I merupakan pewaris kelompok Templar yang dibasmi dari seluruh Eropa oleh Paus Clement IV dan Raja Perancis, King Philip le Bel, di tahun 1307. Pada 1314, Grandmaster terakhir Templar bernama Jaques de Molay dibakar hidup-hidup hingga menemui ajal. Saat dibasmi, Templar banyak yang menyelamatkan diri ke Skotlandia, satu-satunya wilayah di Eropa yang tengah diekskomunikasikan dari Gereja. Namun Skotlandia bukan satu-satunya tempat persembunyian Templar. Para Templar yang dikenal sebagai jago-jago perang dan juga intelijen di abad pertengahan ini juga banyak yang menyusup di sejumlah wilayah Eropa.

Mereka yang bersembunyi di Portugis, Spanyol, dan Itali, menanggalkan jubah Templarnya dan mengganti nama menjadi Knight of Christ. Yang di Malta menjadi Knights of Rhodes atau Knights of Malta. Ada pula yang lari bersembunyi di Bavaria dan menjelma menjadi Knights of Teutonik. Penangkapan dan pengadilan atas Templar di Bavaria dilakukan dengan penuh sandiwara dan tidak dilaksanakan dengan sepenuh hati. Sebab itu organisasi ini masih eksis selama beraba-dabad di Bavaria dan juga secara klandestin di Eropa—dan menemukan tokoh baru di wilayah baru ini, seorang Yahudi paganism kaya raya dan dekat dengan praktek-praktek klenik dan okultisme seperti halnya Templar, bernama Meyer Amschell Rotschild. Ada anggapan juga bahwa sesungguhnya Rotschild I ini malah seorang tokoh Templar Klandestin sejak awalnya.

Di tahun 1773, Rotschild I mengundang 12 keluarga Yahudi terkemuka dunia untuk berkumpul di kediamannya. Dalam pertemuan tersebut, Rotschild I mengeluarkan dan membacakan 25 butir strategi penguasaan dunia yang di dalam Kongres Zionis Internasional I di Basel Swiss (1897) disahkan menjadi agenda gerakan Zionis Internasional dengan nama Protocolat of Zions. Selain itu, Rotschild juga memanggil dan memperkenalkan seorang Yahudi dari Ingolstadt, Bavaria, anak dari seorang Rabi Yahudi yang menyembunyikan keyahudiannya dan mengaku sebagai seorang Yesuit Katolik bernama Adam Weishaupt. Orang ini tertarik pada pemikiranpemikiran ajaran sesat Dinasti Kerajaan Perancis terakhir, yang dalam The Holy Blood Holy Grail (1982) disebut sebagai Dinasti Merovingian.

Awalnya, Rotschild menugaskan Weishaupt untuk memimpin Coven of Golden Dawn (Fajar Keemasan), sebuah sekte mistik pribadi keluarga Rotschild yang masih aktif sampai dengan hari ini. Kemudian, di dalam pertemuan tersebut, Rotschild menunjuk Weishaupt untuk membentuk dan memimpin sebuah sekte mistik kuno Bavaria bernama Illuminati (Yang Tercerahkan, kaum Gnostis sendiri menyebut Maria Magdalena sebagai The Illuminatrix). Illuminati merupakan sekte Luciferian (iblis) yang memiliki arti Sang Pembawa Cahaya.

Di dalam struktur keanggotaan Illuminati, lapisan tertinggi berada dalam kelompok Areopagites atau Tribunal yang memegang kendali atas sekte. Mereka inilah yang berhak hadir dalam pertemuan-pertemuan rahasia. Nesta Helen Webster dalam World Revolution: The Plot Against Civilisation (1921) menyebut bahwa keahlian Illuminati adalah dalam seni menipu dan memanipulasi, yang memanjakan dan menggerakan mimpi-mimpi orang-orang lugu dan memprovokasi serta mengarahkan mimpi-mimpi orang fanatic dengan memuji-muji dan mendongkrak keangkuhan serta kesomboingan intelektualitas mereka. Illuminati mempermainkan ketidakseimbangan otak manusia, dengan mendorong ambisi dan nafsu kekuasaan serta memandang rendah idealisme dan nilai-nilai luhur. Syahwat kekuasaan merupakan mainan utama dari Illuminati sejak dulu hingga millennium ketiga ini.

Siapa pun yang terpengaruh akan provokasinya, secara sadar atau tidak, telah menjadi pelayan bagi kelompok pemuja setan ini. Webster menegaskan, “Tujuan utama Illuminati adalah untuk kekuasaan dan kekayaan. Mereka memiliki tujuan untuk menguasai seluruh dunia dan seluruh umat manusia dengan jalan menghancurkan pemerintahan yang religius maupun yang sekuler. Illuminati akan bertahta dalam satu tatanan dunia yang sama sekali baru yang dinamakan sebagai The New World Order.”

Guna menuju penguasaan dunia, Illuminati mempergunakan semboyan “Tujuan Menghalalkan Cara”. Walau demikian, ada dua senjata utama mereka untuk mempengaruhi atau menundukkan sasaran, terutama politikus, pejabat militer, dan juga para penguasa, termsuk anggota legislatif. Yakni dengan uang dan seks. Dalam tulisan ketiga akan dipaparkan kisah penyatuan sekte Illuminati dengan gerakan Freemasonry, keduanya gerakan Yahudi paganis, dan juga kisah tentang Baron Franz Friedrich Knigge yang pada tahun 1780 direkrut menjadi anggota dan sikap Comte de Virieu yang keluar dari sekte tersebut.

ZIONISME ; Gerakan Menahlukkan Dunia

Posted on

Theodor Herzl
Bapak Zionisme

225px-Theodor_Herzl
( 1860 – 1904 )
“Di Bazel saya mendirikan negara Yahudi… Barangkali dalam waktu lima tahun, dalam limapuluh tahun, orang niscaya akan menyaksikannya”.

YAHUDI, ZIONISME, DAN ISRAEL

“Kita harus memaksa pemerintahan bukan-Yahudi untuk
menerima langkah-langkah yang akan meningkatkan secara
luas rencana yang telah kita buat yang telah kian dekat dengan
tujuannya dengan cara meletakkan tekanan pada pendapat
umum yang telah kita agendakan yang harus didorong oleh
kita dengan bantuan apa yang dinamakan ‘kekuatan besar’
pers. Dengan sedikit perkecualian, tak perlu terlalu dipikirkan,
kekuatan itu telah berada dalam genggaman kita”.

(‘Protokol Zionis yang Ketujuh’)

A. SEJARAH DAN ASAL-USUL

Tatkala mesin pembantai dari negara Yahudi-Israel memasuki wilayah Otoritas Palestina pada tanggal 29 Maret 2002 untuk menebar maut dan kehancuran kepada rakyat, infra-struktur pemerintahan, dan kehidupan rakyat Palestina, atas perintah perdana menteri Ariel Sharon, mereka hanyalah mengukuhkan wataknya sepanjang sejarah kaum Yahudi sebagai kelompok yang ditopang oleh kepongahan rasialistik dan agama, yang menghalalkan pencapaian tujuan dengan cara apa pun, dan pada abad modern ini terutama dengan gerakan terorisme yang didukung oleh negara bahkan jauh sebelum negara Yahudi Israel dideklarasikan pada tanggal 14 Mei 1948.

Watak keras kepala, percaya diri yang berlebihan, serta kecongkakan yang diperlihatkan oleh kaum Yahudi dalam sejarah panjang kaum ini, telah menjadi penyebab kehancuran kaum ini berkali-kali. Tetapi kaum Yahudi sampai dengan hari ini tidak pernah belajar dari pengalaman pahit mereka. Nafsu besar mengejar kekuasaan dalam sejarah mereka setiap kalinya berakibat dengan kehancuran kaum Yahudi sendiri. Sebagai contoh klasik adalah riwayat Rehoboam, raja Israel, anak dari Nabi Sulaiman a.s., yang melanjutkan tahta ayahandanya pada tahun 926 sM. Rehoboam adalah seorang penguasa yang dikenal ambisius dan keras-kepala, tidak pernah menghiraukan pendapat dari para mantan penasehat ayahnya, sehingga sikap itu memicu pemberontakan yang dilakukan oleh sepuluh suku Bani Israel yang berdiam di kawasan utara di bawah pimpinan Jeroboam. Dalam pertentangan ini hanya ada dua suku, yakni Judah dan Benyamin, yang setia kepada Rehoboam, yang menyebabkan kerajaan Yahudi ini terpecah menjadi dua. Perpecahan itu tidak pernah teratasi dengan akibat hancurnya kesatuan Tanah Israel untuk selama-lamanya dan menjadi titik-balik dalam sejarah politik dan kehidupan keagamaan kaum Yahudi.

Dengan keberhasilannya melawan kerajaan Judah, Jeroboam memusatkan seluruh usahanya untuk menjamin agar kerajaan Israelnya yang ada di utara sepenuhnya bebas dari Judah yang ada di bawah Rehoboam. Guna mencegah rakyatnya pergi ke Jerusalem ia membangun dua buah haikal untuk beribadah rakyatnya di Bethel dan Ia mengikis habis ritual agama yang dapat menghubungkan rakyatnya dengan kerajaan Judah dengan mengubah semua hari-hari raya keagamaan dengan hari-hari raya yang baru. Ia bahkan meletakkan dua buah patung anak sapi emas di kedua haikal yang baru didirikannya untuk menjadi pusat peribadatan kerajaan Israel, sehingga dengan Yahudi, Zionisme, dan Israel demikian mengubah sama sekali sendi keimanan Yahudi yang didasarkan pada penyembahan kepada Yahwe Tuhan Bani Israel.

Kerajaan Judah, dimana terletak Jerusalem, di kemudian hari menderita rangkaian kekalahan. Setelah beberapa waktu kerajaan Judah ditaklukkan oleh Babilon dengan akibat terbuangnya Bani Israel. Meskipun kerajaan Judah kemudian pernah bangkit lagi untuk sementara waktu, tetapi kebangkitan itu tidak berlangsung lama. Kerajaan Judah diterpa pertentangan internal dan pemberontakan. Dalam rentang waktu tidak lebih dari dua ratus tahun Judah jatuh bangun melalui sembilan dinasti dan sembilan-belas raja-raja yang saling menggulingkan melalui pertumpahan darah dalam rangka perebutan tahta. Dalam sejarah selanjutnya Judah kemudian ditaklukkan lagi oleh kekuasaan asing, lalu mengalami masa pembuangan kembali, persebaran, penindasan, ghetto, dan pembantaian, meski tidak punah sama sekali.

Sekiranya Rehoboam menempuh pendekatan yang lain mengikuti saran para penasehat ayahnya, kesalahan ini telah memberikan bekas yang mendalam, yang mestinya menjadi pelajaran bagi kaum Yahudi dari pengalaman sepanjang 2800 tahun sejarah mereka. Kisah ini diceritakan oleh Barbara Tuchman, seorang sejarawan Israeli dalam bukunya ‘The March of Folly’ (Perjalanan Kekalahan Demi Kekalahan).
Dalam bukunya itu Tuchman menuturkan beberapa peristiwa dalam sejarah kaum Yahudi yang disebabkan oleh kebutaan hati manusia yang mestinya dapat menghindari bencana-bencana yang mengakibatkan konsekwensi yang luas. Sebagian besar trajedi yang dialami oleh kaum Yahudi disebabkan oleh kesalahan sendiri, kekonyolan watak, dan ambisi dari para pemimpin mereka.

Pada tahun 734 sM kerajaan Israel yang dibentuk oleh sepuluh suku Bani Israel di utara di bawah raja Pekah bersekutu dengan raja-raja lainnya untuk melawan Assyria, yang menjadi imperium yang mendominasi Timur Tengah pada masa itu. Raja Assyria Tilgath-Pileser III menjawabnya dengan melancarkan serangan yang mematikan untuk menghancurkan persekutuan itu. Kerajaan Israel diserbu dan rakyatnya mengungsi meninggalkan Tanah Israel bersebaran ke seluruh penjuru imperium Assyria. Tanah yang tadinya bernama Israel, oleh Assyria diberi nama baru, Samaria. Dalam tempo hanya sepuluh tahun sisasisa kerajaan Israel mengalami serbuan susulan oleh dua orang raja Assyria, yakni Shalmaneser V dan Sargon II, menuntaskan penghancuran kerajaan Israel. Penduduk yang selamat dari kematian dideportasi ke empat penjuru angin dan lenyap dari sejarah, diingat sebagai “Sepuluh Suku Bani Israel yang Hilang”. Di atas Tanah Israel itu muncul bangsa-bangsa baru yang didukung oleh Assyria, yaitu bangsa Cathia, Babilonia, Elamia, dan Sushania, yang kesemuanya disebut sebagai kaum Samaria.

Sementara itu kerajaan Judah yang dipimpin oleh raja Hezekiah setelah melihat keganasan Assyria terpaksa mengembangkan kebijaksanaan bertetangga baik dengan negara adi-daya tetangganya. Namun suatu faksi militan di dalam kerajaan ternyata membangun aliansi dengan kerajaan Mesir dan Filistin dengan tujuan untuk melawan Assyria. Raja Hezekiah yang nampak ragu-ragu membuat kelompok militan itu kian bersemangat. Nabi Isaiah memohon kepada raja Hezekiah untuk belajar dari nasib kerajaan Israel dan bangsa-bangsa yang menjadi korban Assyria. Isaiah juga menghimbau kepada para pemimpin “kelompok perang” untuk memikirkan nasib rakyatnya. Ia berkeliling kota Jerusalem dengan mengenakan pakaian dari bahan karung seraya menubuahkan, siapa saja yang maju berperang melawan Assyria akan musnah. Meski Isaiah meratap-ratap, tetapi pada tahun 714 sM di bawah tekanan para panglimanya raja Hezekiah akhirnya bergabung dengan “kelompok perang” melawan Assyria. Pengabaian nasehat nabi Isaiah dan kebodohan Hezekiah mengakibatkan keruntuhan kerajaan Judah.

Pada tahun 701 sM raja Assyria Sennachireb menyerang dan menghancurkan aliansi yang menentangnya. Untuk kedua kalinya Jerusalem dibakar dan dihancurkan, kedua puteri Hezekiah ditawan dan dibawa ke Niniveh, ibukota Assyria, dijadikan gundik. Rakyat Judah digiring sebagai budak belian. Yahudi, Zionisme, dan Israel. Seabad kemudian imperium Assyria dihancurkan oleh imperium Babilon yang baru tampil di bawah raja Nebuchadnezar. Di bawah pemerintahannya selama empat puluh tiga tahun Babilon membangun dan menyebarkan peradabannya ke segenap wilayah Timur Tengah.
Sekelompok orang Yahudi di Judah yang sebenarnya ada dalam keadaan yang kian lemah menghimpun kekuatan untuk memberontak terhadap Babilon. Kali ini nabi Jeremiah yang memohon kepada kaum Judah untuk tidak membuat langkah yang macam-macam. Jeremiah menjadi orang yang paling tidak populer di Jerusalem. Ia nyaris dihukum mati dengan tuduhan sebagai pengkhianat. Judah mempersiapkan diri untuk memberontak dan melawan. Jeremiah masih sibuk berkhotbah untuk memelihara perdamaian ketika raja Nebuchadnezar secara mendadak menyapu dan menghabisi Judah. Untuk kesekian kalinya Bani Israel ditawan dan diangkut ke pembuangan mereka di Babilon. Hampir sulit dipercaya kaum Judah tidak juga jera dan membangun kembali gerakan untuk melawan Babilon. Kali ini nabi Jeremiah memohon kepada raja baru Judah Zedekiah untuk membatalkan niatnya.

Untuk kesalahannya itu nabi Jeremiah dihukum lapar, dianiaya, dan ditelantarkan agar mati. Terhadap perlawanan Zedekiah raja Nebuchadnezar kembali memberi pelajaran dengan menghancurkan Jerusalem, dan kali ini haikal Sulaiman dibakar habis, yang tersisa hanya satu dinding yang kini menjadi Tembok Ratapan kaum Yahudi, penduduknya diangkut sebagai budak belian ke Babilon. Kaum buangan Yahudi tinggal di Babilon selama kurang lebih lima-puluh tahun sejak dihancurkannya Jerusalem, sampai raja Cyrus dari Persia mengalahkan dan menaklukkan Babilon. Cyrus mengampuni Bani Israel dan mengizinkan mereka kembali ke Jerusalem. Sebagian besar dari mereka memilih menetap di Babilon daripada kembali ke Jerusalem. Sebagai dampaknya Babilon berkembang menjadi pusat budaya Yahudi selama
seribu tahun ke depan. Dalam hubungan inilah kitab Talmud versi Babilonia dari agama Qabal Yahudi terbit.

Sebagian lagi bermigrasi ke Mesir dimana jumlah mereka dari tahun ke tahun makin berkembang dan pada abad-abad berikutnya mereka berhasil menyusup dan membangun kekuasaan di Mesir. Mereka yang kembali ke Israel menemukan bangsa Samaria yang hidup di Tepi Barat, dan hidup berdampingan dengan kebencian dan saling curiga satu dengan yang lain. Nafsu, kecongkakan, ketidak-mampuan mendengar saran dan nasehat, menurut Barbara Tuchman, merupakan fi’il yang terus melekat pada kaum Yahudi seperti tampak pada negara Israel modern dewasa ini, dan sebagaimana pelajaran sejarah masa lalu akan membawa kepada kehancuran Israel.2

Yahudi Ashkenazim dan Yahudi Sephardim Kaum Yahudi Eropa yang kini berkuasa di negara Israel disebut kelompok Yahudi “Ashkenazim”. Mereka keturunan bangsa pagan Cathar, yang menghuni dataran tinggi Georgia di Rusia Selatan. Mereka diduga baru memeluk agama versi sesat Qabalisme Yahudi pada awal abad Masehi, ketika panglima Legiun Romawi Titus menguasai dan menghancurkan lagi Jerusalem pada tahun 70 M. Kaum Yahudi bertahan di sebuah benteng di gigir bukit Masada, dan tatkala mengetahui benteng itu tidak dapat dipertahankan lagi orang-orang Yahudi melakukan bunuh diri secara beramai-ramai dan meninggalkan sindrom Masada yang kini menghinggapi orang Israel – ketakutan akan punah dihancurkan oleh musuh-musuhnya.

Penduduk Jerusalem kembali mengungsi meninggalkan Jerusalem, tidak terkecuali para penganut Qabalis Yahudi yang bertebaran ke seluruh penjuru Asia Minor dan Eropa Selatan. Kaum Qabalis membawa serta ajaran dan “kitab suci” Talmud mereka, yang merupakan karya para rabbi, yang memuja Lucifer atau Iblis, sebagai tuhan. Kaum “Ashkenazim” memiliki ritual ibadah dan logat Ibrani sendiri, yang membedakan mereka dengan Yahudi “Sephardim”, kaum Yahudi
dari negeri Judah, yang berpegang pada Taurat Musa. Yahudi “Ashkenazim” yang berdiam di Rusia Selatan kemudian menyebar ke seluruh Eropa, Amerika, dan Australia, mereka kemudian berkembang menjadi kelompok yang lebih dominan baik dalam jumlah maupun perannya di dunia. Kaum Yahudi Ashkenazim menjadi pemrakarsa gerakan Zionisme internasional dan di kemudian hari memegang Yahudi, Zionisme, dan Israel  kekuasaan politik di negara Israel modern dibandingkan dengan kelompok Yahudi “Sephardim”.

B. ZIONISME

‘Zionisme’ berasal dari kata Ibrani “zion” yang artinya batu-karang. Maksudnya merujuk kepada batu bangunan Haykal Sulaiman yang didirikan di atas sebuah bukit karang bernama “Zion”, terletak di sebelah barat-daya Al-Quds (Jerusalem). Bukit Zion ini menempati kedudukan penting dalam agama Yahudi, karena menurut Taurat, “Al-Masih yang dijanjikan akan menuntun kaum Yahudi memasuki ‘Tanah yang Dijanjikan’. Dan Al-Masih akan memerintah dari atas puncak bukit Zion”. Zion di kemudian hari diidentikkan dengan kota suci Jerusalem itu sendiri. ‘Zionisme’ kini tidak lagi hanya memiliki makna keagamaan, tetapi telah beralih kepada makna politik, yaitu “suatu gerakan pulangnya ‘diaspora’ (terbuangnya) kaum Yahudi yang tersebar di seluruh dunia untuk kembali bersatu sebagai sebuah bangsa dengan Palestina sebagai tanah-air bangsa Yahudi, dengan Jerusalem sebagai ibukota negaranya”.

Istilah Zionisme dalam makna politik itu dicetuskan oleh Nathan Bernbaum, dan ‘Zionisme Internasional’ yang pertama berdiri di New York pada tanggal 1 Mei 1776, dua bulan sebelum kemerdekaan Amerika-Serikat dideklarasikan di Philadelphia. Gagasan itu mendapatkan dukungan dari Kaisar Napoleon Bonaparte ketika ia merebut dan menduduki Mesir. Untuk memperoleh bantuan keuangan dari kaum Yahudi, Napoleon pada tanggal 20 April 1799 mengambil hati dengan menyerukan, “Wahai kaum Yahudi, mari membangun kembali kota Jerusalem lama”. Sejak itu gerakan untuk
kembali ke Jerusalem menjadi marak dan meluas. Adalah Yahuda al- Kalai (1798-1878), tokoh Yahudi pertama yang melemparkan gagasan untuk mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina. Gagasan itu didukung oleh Izvi Hirsch Kalischer (1795-1874) melalui bukunya yang ditulis dalam bahasa Ibrani ‘Derishat Zion’ (1826), berisi studi tentang
kemungkinan mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina.

Buku itu disusul oleh tulisan Moses Hess dalam bahasa Jerman, berjudul ‘Roma und Jerusalem’ (1862), yang memuat pemikiran tentang solusi “masalah Yahudi” di Eropa dengan cara mendorong migrasi orang Yahudi ke Palestina. Menurut Hess kehadiran bangsa Yahudi di Palestina akan turut membantu memikul “missi suci orang kulit putih untuk mengadabkan bangsa-bangsa Asia yang masih primitif dan memperkenalkan peradaban Barat kepada mereka”. Buku ini memuat pemikiran awal kerja-sama dan konspirasi Yahudi dengan Barat-Kristen menghadapi bangsa-bangsa Asia pada umumnya, dan dunia Islam pada khususnya.

Untuk mendukung gagasan itu sebuah organisasi mahasiswa Yahudi militan bernama ‘Ahavat Zion’ berdiri di St. Petersburg, Rusia, pada tahun 1818, yang menyatakan bahwa, “setiap anak Israel mengakui bahwa tidak akan ada penyelamatan bagi Israel, kecuali mendirikan pemerintahan sendiri di Tanah Israel (‘Erzt Israel’)”.3 Buku Moses Hess ‘Roma und Jerusalem’ (1862) mendapat perhatian dan dukungan dari tokoh-tokoh kolonialis Barat karena beberapa pertimbangan. Pertama, adanya konfrontasi antara Eropa dengan daulah Utsmaniyah Turki di Timur Tengah. Kedua, bangsa-bangsa Eropa membutuhkan suatu ‘bastion’ politik yang kuat di Timur Tengah dan ketika kebutuhan itu muncul orang Yahudi menawarkan diri secara sukarela untuk menjadi proxi negara-negara Eropa. Ketiga, kebutuhan bangsa-bangsa Eropa itu sesuai dengan aspirasi kaum Yahudi untuk kembali ke Palestina. Dan yang keempat, gerakan Zionisme akan berfungsi membantu memecahkan “masalah Yahudi” di Eropa.

Perlu dicatat bahwa gerakan Zionisme mulai mendapatkan momentumnya berkat bantuan dana keuangan tanpa reserve dari Mayer Amschel Rothschild (1743-1812) dari Frankfurt, pendiri dinasti Rothschilds, keluarga Yahudi paling kaya di dunia. Pendukung kuat dari kalangan politisi Eropa terhadap gerakan Zionisme datang terutama dari Lloyd George (perdana menteri Inggeris), Arthur Balfour (menteri luar-negeri Inggeris), Herbert Sidebotham (tokoh Yahudi, Zionisme, dan Israel militer Inggeris), Mark Sykes, Alfred Milner, Ormsby-Gore, Robert Cecil, J.S.Smuts, dan Richard Meinerzhagen.

Sebenarnya sejak tahun 1882 Sultan Abdul Hamid II telah mengeluarkan sebuah dekrit yang berbunyi, meski sultan “sepenuhnya siap untuk mengizinkan orang Yahudi beremigrasi ke wilayah kekuasaannya, dengan syarat mereka menjadi kawula daulah Utsmaniyah, tetapi baginda tidak akan mengizinkan mereka menetap di Palestina”. Alasan pembatasan ini karena, “Emigrasi kaum Yahudi di masa depan akan dapat membuahkan sebuah negara Yahudi”. Pada waktu itu sebelum imigrasi kaum Yahudi yang massif dimulai, kira-kira hanya ada 25.000 jiwa orang Yahudi di antara 0,5 juta jiwa penduduk Arab di Palestina.6 Meski ada titah sultan tersebut, arus imigrasi orang Yahudi tetap berhasil menerobos masuk ke Palestina secara diam-diam dan berlanjut bahkan melalui cara sogok sekalipun.

Menjelang 1891 beberapa pengusaha Palestina mengungkapkan keprihatinan mereka mengenai kian meningkatnya imigran Yahudi, sehingga menganggap perlu mengirimkan telegram ke Istambul menyampaikan keluhan tentang kekhawatiran itu yang mereka simpulkan akan mampu memonopoli perdagangan yang akan menjadi ancaman bagi kepentingan bisnis setempat, yang pada gilirannya akan menjadi ancaman politik. Pada tahun 1897, tahun yang bersamaan dengan ‘Kongres Zionisme I’ di Bazel, mufti Jerusalem, Muhammad Tahir Husseini, ayah dari Hajj Amin Husseini, memimpin sebuah komisi yang dibentuk khusus untuk mempelajari masalah penjualan tanah penduduk Arab kepada orang Yahudi. Resolusi komisi tersebut berhasil meyakinkan pemerintah kesultanan Utsmaniyah mengeluarkan peraturan yang melarang penjualan tanah milik penduduk Arab kepada orang Yahudi di daerah Jerusalem untuk beberapa tahun.

Gagasan tentang gerakan Zionisme, yaitu suatu gerakan politik untuk mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina, mulai memperlihatkan konsepnya yang jelas dalam buku ‘Der Judenstaat’ (1896) yang ditulis oleh seorang tokoh Yahudi, yang kemudian dipandang sebagai Bapak Theodore Herzl (1860-1904). Ia salah seorang tokoh besar Yahudi dan Bapak Pendiri Zionisme modern, barangkali eksponen filosuf tentang eksistensi bangsa Yahudi yang memiliki pandangan paling jauh ke depan yang pernah dimiliki generasi Yahudi di sepanjang sejarah mereka. Ia tidak pernah ragu akan adanya “bangsa Yahudi”. Ia menyatakan tentang eksistensi itu pada setiap kesempatan yang ada. Katanya, “Kami adalah suatu bangsa – Satu Bangsa”.

C. PROGRAM POLITIK YAHUDI

Ia dengan jernih melihat apa yang disebutnya sebagai “masalah Yahudi” sebagai suatu masalah politik. Dalam kata pengantar bukunya itu, ‘Der Judenstaat’, ia berkata, “Saya percaya, bahwa saya memahami anti-Semitisme, yang sesungguhnya merupakan gerakan yang sangat kompleks. Saya mempertimbangkannya dari sudut pandang orang Yahudi, tanpa rasa takut maupun benci. Saya percaya anasir apa yang saya lihat di dalamnya yang merupakan permainan yang jorok, sikap iri yang lazim, warisan prasangka, intoleransi keagamaan, dan juga pretensi mempertahankan nilai-nilai. Saya rasa ‘masalah Yahudi’ lebih banyak berbau sosial ketimbang keagamaan, meskipun saya tidak menafikan kadangkala muncul hal itu dalam beragam bentuknya. Masalah itu pada hakekatnya adalah ‘masalah nasional’ yang hanya mungkin diselesaikan dengan membuatnya masalah dunia politik yang dapat didiskusikan dan dikendalikan oleh bangsa-bangsa dunia beradab di suatu majelis”.

Theodore Herzl tidak hanya menyatakan bahwa kaum Yahudi harus membentuk suatu bangsa, tetapi dalam menghubungkan tindakan dari bangsa Yahudi ini kepada dunia, Herzl menulis, “Bila kita tenggelam, kita akan menjadi suatu klas proletariat revolusioner, pemanggul idea dari suatu partai revolusioner; bila kita bangkit, dipastikan akan bangkit juga kekuasaan keuangan kita yang dahsyat”.

E. YAHUDI, ZIONISME, DAN ISRAEL

Pandangan ini yang nampaknya pandangan yang sejati, merupakan pandangan yang telah lama terpendam di dalam benak kaum Yahudi, yang juga dikemukakan oleh Lord Eustace Percy, dan diterbitkan ulang, agaknya dengan persetujuan ‘Jewish Chronicle’ Kanada, yang untuk membacanya membutuhkan kehati-hatian :
Liberalisme dan nasionalisme dengan hingar-bingar membukakan pintu ghetto dan menawarkan kewarga-negaraan dengan kedudukan yang sejajar kepada kaum Yahudi. Kaum Yahudi memasuki Dunia Barat, menyaksikan kekuasaan dan kejayaannya, memanfaatkan dan menikmatinya, turut-serta membangun di pusat peradabannya, memimpin, mengarahkan dan mengeksploatasinya – namun kemudian menolak tawaran itu. Lagipula – dan hal ini sesuatu yang menarik – nasionalisme dan liberalisme Eropa, pemerintahan dan persamaan dalam demokrasi menjadi makin tidak tertanggungkan olehnya dibandingkan dengan penindasan dan kedzaliman despotisme sebelumnya.”

“Di suatu dunia dengan yurisdiksi kedaulatan negara yang dibatasi dengan jelas oleh batas-batas wilayah teritorial negara yang sepenuhnya disepakati secara internasional, (orang Yahudi) tinggal memiliki dua pilihan yang membuka kemungkinan baginya untuk memperoleh perlindungan: pertama, atau ia harus meruntuhkan pilar-pilar sistem negara nasional yang ada secara keseluruhan; kedua, atau ia harus menciptakan sendiri suatu wilayah teritorial yang seluruhnya berada di dalam genggaman yurisdiksi kedaulatannya. Mungkin disini terletak penjelasan tentang hubungan Bolshevisme (bahasa Rusia: ‘minoritas’)

Yahudi dan Zionisme, karena dewasa ini kaum Yahudi di Timur nampaknya terombang-ambing memilih di antara keduanya. Di Eropa Timur Bolshevisme dan Zionisme sering terlihat tumbuh bersamaan, persis seperti peran kaum Yahudi dalam membentuk pemikiran tentang ‘republikeinisme’ dan ‘sosialisme’ sepanjang abad kesembilan-belas sampai kepada Revolusi Turki Muda di Istambul yang belum lewat satu dasawarsa yang lalu. Semuanya berlangsung bukan karena kaum Yahudi mempedulikan sisi positif dari falsafah-falsafah radikal itu, bukan karena ingin menjadi peserta dari nasionalisme atau demokrasinya kaum non Yahudi, tetapi ‘karena tidak ada sistem pemerintahan yang ada pada kaum non-Yahudi, yang benar-benar memiliki makna bagi orang Yahudi, karena apa yang ada hanya menimbulkan kemuakan baginya’ “. Para pemikir Yahudi, semuanya tanpa kecuali, memandang apa yang ada pada kaum non-Yahudi seperti itu. Orang Yahudi selalu bersikap bertentangan dengan skema kaum non-Yahudi dalam segala hal. Kalau sekiranya kepada orang Yahudi diberikan kebebasan penuh untuk memilih, dapat dipastikan ia akan memilih untuk menjadi seorang republikein yang anti-kerajaan, seorang sosialis yang anti-republik, atau seorang Boshevis yang anti-sosialis.

Apa yang menjadi penyebab sikap yang nyeleneh ini? Pertama, kekurangmampuan orang Yahudi dalam memahami demokrasi. Watak orang Yahudi yang terbentuk oleh budaya dan agamanya cenderung otoriter. Demokrasi barangkali baik bagi orang lain, tetapi bagi orang Yahudi dimana pun ia berada, ia akan mendirikan suatu masyarakat aristokrasi atau sejenisnya (periksa tentang : ajaran Qabala). Demokrasi oleh orang Yahudi digunakan hanyalah sebagai alat, sekedar sebuah kata, yang digunakan oleh para juru-bicara Yahudi sekedar sebagai suatu mekanisme perlindungan kelompok (‘group defence mechanism’) di tempat-tempat dimana mereka ditindas, serta untuk mendapatkan status persamaan; begitu telah mencapai kedudukan dan status yang sama, mereka segera berusaha mendapatkan privilese, hak-hak istimewa, yang seolah-olah telah menjadi hak mereka – seperti pada ‘Konperensi Perdamaian’ Versailles 1918 – menjadi contoh yang mengagetkan banyak orang. Kaum Yahudi sekarang ini adalah satu-satunya masyarakat dimana hak-hak khusus dan privilese yang dicantumkan khusus bagi mereka dituliskan di dalam ‘perjanjian-perjanjian’ dunia (teks aseli hak-hak istimewa bagi orang Yahudi dalam Perjanjian Perdamaian Versailles 1918 dipublikasikan pada bulan Juli 1920; harap dirujuk juga kepada hak-hak khusus dan privilese istimewa Israel dalam resolusi-resolusi PBB). Kedua, terhadap sikap anti-Yahudi, ada tiga penyebab yang biasanya dijadikan mereka sebagai argumen: pertama, prasangka keagamaan;  kedua, prasangka ekonomi; dan ketiga, antipati sosial. Masalahnya apakah kaum Yahudi itu menyadari atau tidak, bahwa bagi orang non- Yahudi, Yudaisme itu dipandang sebagai salah satu “agama wahyu” bersama-sama dengan agama Kristen dan Islam. Prasangka yang ada lebih banyak bersumber justeru dari sebab-sebab non-keagamaan. Soal kecemburuan ekonomi barangkali memang ada. Sudah bukan rahasia lagi keuangan dunia itu ada dalam genggaman para bankir Yahudi; keputusan dan kebijaksanaan mereka menjadi hukum ekonomikeuangan bagi dunia Barat. Kecemburuan ekonomi mungkin dapat menjelaskan sebagai salah satu sebab dari timbulnya sikap anti-Yahudi; tetapi bisa juga kecemburuan ekonomi yang menimbulkan “masalah Yahudi” itu merupakan unsur kecil dari suatu problema yang lebih besar. Sedangkan soal antipati-sosial di masyarakat Barat yang berkulit putih dan Kristen – beban antipati itu di Barat bukan hanya dipikul oleh orang Yahudi, tetapi juga oleh orang kulit hitam, orang Cina, orang muslim, serta komunitas lain di dunia ini, yang jumlah mereka justeru lebih banyak daripada orang Yahudi.

Orang Yahudi itu tidak pernah menyebut-nyebut politik sebagai penyebabnya, atau jika mereka nyaris kesleo lidah yang bernada sugestif ke arah itu, mereka segera membatasinya, atau melokalisasinya. Unsur politik yang inhaeren melekat pada masyarakat Yahudi, ialah dimana saja mereka itu berada mereka senantiasa akan membentuk semacam “negara” sendiri di dalam negara tuan-rumah. Ketertutupan sikap masyarakat Yahudi yang lebih mengutamakan hubungan internal di antara mereka sendiri, menjadi salah satu penyebab utama yang menimbulkan sikap anti-Yahudi.

F. NASIONALISME YAHUDI

Tidak seorang pun menyanggah kenyataan – kecuali kalau benar-benar tidak mengenal pola berpikir kaum Yahudi (periksa ‘Protokol Zionisme’) – bahwa anasir yang merusak, baik di bidang ekonomi maupun sosial di dunia sekarang ini, bukan saja diawaki, tetapi juga didanai oleh dan untuk kepentingan kaum Yahudi.

Kenyataan ini cukup lama dipendam saja oleh publik, disebabkan oleh sanggahan yang keras dari kalangan kaum Yahudi, seperti dari the Jewish Anti-Defamation League, serta kurangnya informasi tentang hal itu. Kini semua itu dimana-mana telah menjadi kenyataan. Beberapa waktu setelah Kongres Zionisme Internasional ke-1 di Basel (1897) itu kecenderungan politik kaum Yahudi bekerja ke dua arah, yang satu dilakukan secara diam-diam ditujukan untuk menghancurkan dan menguasai negara-negara non-Yahudi di seluruh dunia, yang lain lagi untuk membentuk sebuah negara Yahudi di Palestina. Berbeda dengan proyek yang pertama, proyek yang kedua dilakukan dengan meminta perhatian dan melibatkan dukungan dari seluruh dunia. Untuk kepentingan itu kaum Zionis dengan cerdik hanya meributkan soal Palestina, dan persoalan itu tidak ditengarai sebagai rencana kolonialisasi yang ambisius yang tidak biasa. Gagasan tentang “Tanah Air” bagi orang Yahudi begitu cerdiknya disemai, sehingga menjadi tabir-asap yang efektif untuk merampas tanah milik bangsa Arab- Palestina. Agenda mengenai Palestina digunakan juga untuk menipu publik menutupi berbagai kegiatan rahasia yang mereka jalankan.

Masyarakat Yahudi internasional, pemegang teraju pemerintahan negaranegara di belakang layar dan penguasa keuangan dunia, bertemu dimana saja, kapan saja, baik di masa perang maupun damai, dan bila ditanya, mereka menjelaskan pertemuan-pertemuan itu hanya memperbincangkan bagaimana cara dan sarananya untuk membuka tanah Palestina bagi orang Yahudi, dan mereka dengan cerdik menghindar dari kecurigaan orang berkumpul-kumpul untuk membicarakan persoalan lain-lain.
Meskipun nasionalisme Yahudi itu ada, tetapi perwujudannya ke dalam suatu negara Yahudi di Palestina bukanlah merupakan proyek yang melibatkan segenap orang Yahudi. Adalah kenyataan bahwa pada awalnya orang Yahudi tidak seluruhnya sepakat pindah ke Palestina. Keengganan itu bukan sematamata karena tidak setuju dengan gerakan Zionisme, meskipun ideologi Zionisme sebagai motif pendorong memang menjadi penyebab exodusnya mereka dari negeri-negeri Kristen bila saat untuk itu benar-benar telah tiba.

Publik dunia telah lama mencurigai – mula-mula hanya oleh beberapa gelintir orang, kemudian mulai menarik perhatian dinas-dinas intelijen pemerintahan, lalu kalangan para intelektual, akhirnya masyarakat luas bahwa kaum Yahudi itu adalah suatu masyarakat yang ternyata berbeda dengan bangsa-bangsa yang lain di dunia, dan anehnya, mereka tidak dapat menyembunyikan identitas mereka dengan cara apapun, bahwa mereka selalu membentuk suatu “negara” di dalam negara, dimana pun mereka berada. Mereka sangat sadar sebagai satu bangsa, tetapi bukan itu saja, mereka sangat sadar perlunya bersatu membentuk pertahanan bersama untuk mencapai suatu tujuan bersama.

Program Pengusiran Penduduk Arab Palestina Penduduk Arab-Palestina masih merupakan mayoritas sampai dengan terbentuknya Israel sebagai sebuah negara Yahudi pada bulan Mei 1948. Negara Israel yang dicita-citakan oleh Theodore Herzl hanya akan dapat terwujud dengan cara menghapus hak-hak kaum mayoritas, yaitu penduduk Arab-Palestina, atau mengubahnya membuat kaum Yahudi Kongres Zionist pertama di Bazel, 1897. menjadi mayoritas melalui imigrasi, atau mengurangi jumlah penduduk Arab di Palestina melalui cara pembersihan etnik. Tidak ada cara lain, dan tidak mungkin membentuk sebuah negara Yahudi, kecuali dengan cara di luar prosedur demokratik tadi.

Pengusiran penduduk Arab-Palestina merupakan keharusan yang mengalir dari logika Zionisme sebagaimana dengan sangat jelas dikatakan oleh Theodore Herzl sejak 12 Juni 1895. Pada waktu itu ia baru merumuskan gagasannya tentang Zionisme dan menuliskannya dalam buku hariannya, “Kami harus mencoba mengeluarkan kaum tidak berduit (baca: Palestina) dari perbatasan dengan cara menyediakan pekerjaan di negara-negara tetangga, dan bersamaan dengan itu, mencegah mereka memperoleh lapangan kerja di negeri kami. Kedua proses, baik penghapusan kepemilikan dan pemindahan kaum miskin itu, harus dikerjakan dengan kehati-hatian dan kewaspadaan”. Pemikiran ini dibenarkan oleh sebagian besar pendukung Zionisme sejak awal, sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa thema tentang pengusiran secara konsisten terus menjadi pemikiran kaum Zionis.
Jadi sejak awal impian kaum Zionis mendirikan negara Yahudi mengacu kepada dua sasaran yang bersifat komplementer dan sekaligus mutlak, yaitu: (1) mendapatkan sebuah tanah air, dan (2) menggantikan penduduk mayoritas Arab-Palestina baik dengan cara tidak mengakui hak-hak mereka, mengatasi jumlah mereka, atau mengusir mereka dengan cara apa pun. Meskipun Theodore Herzl dan kaum Zionis lainnya menjanjikan bahwa orang Yahudi dan Arab-Palestina akan hidup berdampingan secara damai dan bahagia, namun tidak ada jalan lain yang terbuka untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina sebagaimana yang didambakan oleh kaum Zionis kecuali dengan cara-cara tersebut di atas.

Kaum pendahulu Zionis menempuh beberapa strategi untuk mencapai tujuan mereka. Pertama, melalui imigrasi orang Yahudi; pada saat awal itu banyak kaum Zionis dan para pendukungnya yang sungguh-sungguh percaya bahwa imigrasi orang Yahudi dalam jumlah besar akan dapat Yahudi, Zionisme, dan Israel dalam waktu singkat memecahkan “masalah Palestina” dengan membangun masyarakat Yahudi sebagai mayoritas. Kedua, yang lain meyakini, bilamana sejumlah petani dan buruh Arab-Palestina ditutup kesempatan kerjanya, maka hasilnya akan memaksa orang Arab-Palestina bermigrasi meninggalkan Palestina. Ketiga, dalam kenyataannya, kedua rencana di atas itu kurang begitu diketahui, karena rencana ini lebih banyak diperbincangkan di koridor-koridor kekuasaan di Berlin, London, dan Washington, dalam rangka mendapatkan tajaan (‘sponsorship’) dunia internasional, sekaligus untuk mendapatkan legitimasi terhadap klaim kaum Yahudi sebagai imbangan terhadap hakhak kaum mayoritas penduduk Arab-Palestina.

Kaum Zionis mengembangkan strategi ini secara serentak. Ada yang berhasil dan ada pula yang kurang berhasil. Namun pada akhirnya opsi yang terbuka tinggal pengusiran secara paksa sebagai cara untuk dapat mendirikan negara Yahudi yang mereka impikan. Sementara itu berkembang strategi baru Zionisme, yaitu mendelegitimasi-kan masyarakat Arab-Palestina, sambil berusaha melegitimasi-kan kehadiran orang Yahudi. Sejak awal Theodore Herzl sangat sadar bahwa komunitas Zionis membutuhkan suatu major power sebagai penaja. Usaha pertamanya ditujukan kepada Sultan Abdul Hamid II, suatu pilihan yang masuk akal, mengingat kesultanan Usmaniyah memegang kuasa mutlak atas Palestina. Bahkan sebelum secara resmi mendirikan Zionisme pada tahun 1897, Theodore Herzl pernah berkunjung ke Istambul pada tahun 1896 untuk memohon hibah tanah di Palestina dari Sultan dengan imbalan akan memberikan “bantuan keuangan untuk memulihkan kas kesultanan yang sedang kosong melalui jasa para finansier Yahudi”. Lebih penting lagi, ialah usulnya yang ditulis sekembalinya dari kunjungan itu, memohon kepada sultan hak kaum Yahudi mendeportasikan penduduk aseli. Sultan sangat tersinggung dan menolak permohonan itu, dan mengirimkan pesan yang menasehati Theodore Herzl, ‘Jangan lagi membicarakan soal ini. Saya tidak dapat menyisihkan sejengkal tanah pun, karena tanah itu bukan milik saya, tetapi milik rakyat. Rakyat saya berjuang untuk mendapatkan tanah itu dan menyuburkannya dengan darah mereka. … Biarkanlah orang Yahudi menyimpan duit mereka yang berjuta-juta banyaknya di peti mereka”.

=>>>To Be Continue

Media Sosial dan Radikalisme

Taut Posted on Updated on

MEDIA SOSIAL DAN RADIKALISMEilustrasi-media-sosial-_170222151406-274

By Ahmad Hilmy Hasan *

Komunikasi (dengan berbagai medianya) adalah satu pilar penyangga agenda besar globalisme. Tentu agenda besar globalisasi disokong oleh ideologi modernisme yang lahir setelah abad 16 M hingga saat ini. Di dalam kehidupan masyarakat dunia yang serba modern saat ini, media social menjadi bagian sangat penting sebagai alat komunikasi antar individu baik dalam bentuk verbal maupun non-verbal. Namun, harus tetap diingat dan disadari bahwa media social tetap mempunyai dua ekses sekaligus: positif dan negative, sama halnya dengan globalisme yang mempunya dua dampak yang sama.

Salah satu dampak negative dari media social dalam kajian komunikasi global adalah hilangnya budaya local (local wisdom) yang tadinya hanya turun temurun mampu sampai di seluruh penjuru dunia tanpa terkecuali Indonesia. Artinya budaya bisa dibentuk dengan bantuan komunikasi yang di dukung oleh teknologi.

Konsekwensi logisnya adalah budaya lokal terancam semakin menurun esensinya. Jika menurut teoritis terkemuka seperti Joshua Meyrowitz (1985) dan Robert McChesney (2004) benar, kita kini sedang kehilangan sentuhan dengan budaya-budaya berbasis lokal dan sedang bergerak ke dalam lingkungan budaya global yang sepenuhnya berbasis media.

Sementara itu, masyarakat massa dalam teori budaya Danesi, (2009 : 189), adalah suatu masyarakat terdiri dari sejumlah besar orang yang sangat mudah dipengaruhi oleh media massa dan birokrasi pemerintah. Satu contoh yang menggambarkan hal ini dapat ditemukan dalam novel karya George Orwell yang berjudul 1984 pada tahun 1949. Teori masyarakat massa pertama kali muncul pada akhir abad ke-19 dan menitikberatkan pada adanya hubungan timbal balik antar institusi yang memegang kekuasaan dan intergrasi media terhadap sumber kekuasaan sosial dan otoritas. Isi media cenderung melayani kepentingan pemegang kekuasaan politik dan ekonomi. Media juga memiliki kecenderungan untuk membantu publik bebas dalam menerima keberadaannya sebagaimana adanya.

Menurut Stanley J. Baran dan Dennis K. Davis (2012 : 55) asumsi dasar teori masyarakat massa terkait dengan individu, peran media, dan sifat perubahan social adalah sebagai berikut:

  1. Media memiliki kekuatan memaksa dalam masyarakat yang dapat menumbangkan norma-norma dan nilai-nilai hingga merusak tatanan sosial. Untuk mengatasi bentuk ancaman ini media harus berada di bawah kontrol elit.
  2. Media secara langsung dapat mempengaruhi pikiran orang dan mengubah pandangan mereka tentang dunia sosial.
  3. Ketika pikiran orang diubah oleh media maka seluruh konsekuensi buruk dilihat sebagai hasil yang tidak hanya membawa kehidupan individu pada kehancuran namun juga menciptakan berbagai permasalahan sosial dalam skala besar.
  4. Rata-rata orang sangat rapuh atau tidak berdaya menghadapi media karena dalam masyarakat massa mereka diisolasi dari institusi sosial tradisional yang sebelumnya melindungi mereka dari manipulasi media.
  5. Kekacauan sosial yang diinisiasi oleh media kemungkinan akan diatasi dengan pembentukan tatanan sosial totaliter.
  6. Media massa mau tidak mau memperdebatkan bentuk budaya yang lebih tinggi, yang menyebabkan penurunan peradaban secara umum.

Dalam konteks Indonesia saat ini, media massa dengan berbagai varian dan platformnya menjadi bagian penting kehidupan masyarakat. Hanya saja, perkembangan media massa (terlebih media social) ini oleh masyarakat Indonesia diterima apa adanya tanpa nalar kritis mempelajari ideologi-politik yang bermain dibelakangnya, dengan begitu masyarakat Indonesia hanya menjadi pengguna pasif, konsumen berita yang menelan bulat informasi tanpa ada budaya “saring sebelum sharing” (meminjam istilah Gus Nadirsyah Hosein).

Sementara itu, menurut pendekatan instrumental Marxis, media merupakan bagian ideal dari berbagai kelas sosial yang saling bersinggungan. Pendekatan ini yang membuat beberapa klaim yaitu para pemilik media massa memiliki kendali langsung terhadap berbagai ide yang dikomunikasikan melalui media massa. Pendekatan Marxis memandang bahwa khalayak media massa merupakan khalayak yang pasif. Karena itu, khalayak hanya menerima apapun yang disajikan kepada mereka dan opini publik menjadi mudah dimanipulasi oleh media massa.

Dari data yang dilansir kominfo.go.id tahun 2013, pengguna Internet di Indonesia sebanyak 63 juta dan kini bertambah menjadi 132 juta orang. Sebanyak 95 persen pengguna Internet di Indonesia adalah pengguna media sosial. Tak heran bila saat ini nilai-nilai budaya lokal dan norma-norma sosial mulai tereduksi dan terdekonstruksi akibat banyak orang lebih memilih bersosialisasi melalui media sosial. Media sosial tidak hanya digunakan untuk berbagi momen-momen menyenangkan dan penting bagi penggunanya, tapi media sosial juga menjadi media informasi bagi banyak kalangan.

Namun, di tengah pertumbuhan media sosial yang semakin pesat saat ini, justru menjadi akar masalah dan bumerang dari persoalan-persoalan yang terjadi akhir-akhir ini. Yaitu mengenai persatuan dan kesatuan bangsa. Mengapa? Karena melalui medsos banyak kalangan yang menyalahgunakannya untuk menebar kebencian, hujatan, hasutan, informasi hoax, serta paham radikal. Amat disayangkan. Media sosial yang menjadi simbol kebebasan masyarakat mengakses komunikasi dan informasi justru menjadi senjata makan tuan bagi persatuan negeri. Kita dengan mudah dapat menjumpai akun-akun yang menebar politik identitas, rasis, kebencian atas nama kelompok, golongan, agama, dan perorangan yang beredar luas di media sosial. Inilah embrio radikalisme.

Kasuistik penyebaran radikalisme saat ini justru lebih sering dilakukan melalui media social. Hal ini disampaikan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius yang dilansir di laman berita republika.co.id, padang. Pesatnya dunia digital membuat informasi bertebaran dengan luas. Konten-konten yang ada di media sosial memang memprovokasi, menghegemoni masyarakat baik melalui hoaks, ketidakbenaran, dan sebagainya.

Hegemoni media menurut McQuail (1987 : 65) memang mempunyai pengaruh yang sangat luas di masyarakat. Teori hegemoni media menekankan pada ideologi, bentuk ekspresi, cara penerapan, serta mekanisme yang dijalankan untuk mempertahankan dan mengembangkan diri melalui kepatuhan pada kelas pekerja sehingga upaya itu berhasil mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka.

Menurut Antonio Gramsci (1971), hegemoni merujuk pada kepemimpinan moral, filosofis, dan politik sebuah kelompok sosial yang tidak diperoleh secara paksa namun dengan persetujuan aktif dari kelompok sosial lainnya melalui kontrol budaya dan ideologi. Yaitu, kelompok sosial dominan yang memberikan dampaknya dan mendapatkan legitimasinya melalui mekanisme sosial seperti pendidikan, agama, keluarga, dan media massa. Sedangkan yang dimaksud dengan hegemoni media adalah dominasi berbagai aspek kehidupan serta pemikiran tertentu dengan menembus budaya dan nilai dominan dalam kehidupan sosial. Hegemoni media berfungsi sebagai pembentuk budaya (baru), nilai, dan teknologi masyarakat.

Kebebasan dalam sebuah negara demokrasi, bukanlah kebebasan yang terjadi seperti saat ini. Di mana kita bebas melontarkan hujatan, celaan, atau provokasi terhadap pihak lain, bahkan kepada kepala negara dalam hal ini adalah Presiden. Kebebasan yang terjadi saat ini malah membuat kita tidak mau diatur dan tidak tunduk pada hukum dan perundang-undangan. Inilah yang mengakibatkan paham-paham garis keras atau radikal tumbuh subur di Indonesia. Amat memprihatinkan! Kebebasan di negara kita yang tidak dibarengi dengan pengetahuan menjadi lahan subur bagi persemaian bibit paham radikal yang subur.

Bahkan yang lebih ironis lagi, paham radikalisme justru menyasar kepada generasi-generasi muda. Hal ini bisa dimungkinkan, mengingat pengguna media social di Indonesia mayoritas adalah generasi millennial. Dengan gaya hidup hedonisnya, mereka beramai-ramai menggunakan media social dengan berbagai macam platformnya. Didukung jaringan internet dan kecanggihan gadget, smarphone yang semakin kompetitif di pasaran elektronik dunia, sekali lagi, generasi mellenial hanya bertindak sebagai konsumen dan pengguna pasif dengan sedikit pengetahuan teori politik wacana kritis. .

Berselancar jauh di dunia maya tanpa dibarengi konstruk pengetahuan politik media dan analisis wacana kritis menyebabkan generasi muda sangat rentan terpapar ide, gagasan, pemikiran, dan paham radikal yang sudah sangat massif bergerak di dunia ghaib media social. Youtube, adalah salah satu fitur favorit generasi muda Indonesia saat ini. Di dalamnya mereka dimanjakan dengan berbagai informasi, suguhan hiburan dan lain sebagainya. Penyebaran paham ajaran radikal salah satunya juga melalui fitur ini. Maka, tidak sedikit oknum-oknum da’i, penceramah, ustadz yang secara ideologis mempunyai latar belakang paham radikal menyebarkan informasi ajarannya dari mulai ceramah keagamaan (menurut aqidah dan paham-ideologi ekslusif) mereka hingga tutorial merakit senjata dan bom.

Adalah seorang pemuda bernama Rofik Asharuddin (RA) 22 tahun yang melakukan tindakan terorisme bom bunuh diri di depan PosPam Polisi Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, 3 Juni lalu. Ia diindikasikan terpapar paham ajaran radikalisme melalui You Tube. Untungnya, bom yang ia rakit dan ia ledakkan bersama dirinya bersifat “lone wolf”, hanya mengakibatkan dirinya terluka di bagian perut dan tangan hingga dirawat di rumah sakit.

Ia mengakui bahwa tutorial merakit bom dan ajaran amaliyah bom bunuh diri didapat dari Youtube. Menyasar pos jaga aparat kepolisian tentu tanpa tendensi ideologis. Bahkan ia meyakini bahwa tindakan amaliyah bom dirinya saat bulan Ramadhan pahalanya akan dilipatkan menjadi 70 kali. RA hanya menjadi salah satu contoh pemuda yang terpapar paham radikal dari media sosial, tentu kasuistik semacam ini masih banyak lagi terjadi.

Hal yang sangat ironis sekaligus mencemaskan bagi masa depan generasi-generasi muda Indonesia ke depan jika tidak ada upaya pemerintah bersama segenap elemen negeri segera merumuskan program kontra ideology radikal. Mengingat, perkembangan dinamika politik keagamaan Indonesia untuk beberapa tahun kedepan sepertinya akan terus diwarnai oleh gerakan-gerakan politik Islam (radikal).

Akhirnya, mari belajar agama kepada para ‘ulama (moderat) bukan kepada You Tube apalagi kepada ustadz yang berpaham radikal, jaga integrasi bangsa, cerdas bermedia social dengan tetap menjunjung tinggi budaya local-nasional bangsa, beretika, serta membiasakan “saring sebelum sharing”.

______________
*General of Police “Republik Bumi Surga”